Selasa, 25 Desember 2012

SAYYED HOSSEIN NASR & PEMIKIRAN NYA


BAB I PENDAHULUAN
Hasrat akan keinginan akan kembali pada nilai eksistensi semakin mendesak bagi manusia Barat. Hal ini dikarenakan, dunia ilusi yang mereka ciptakan disekelilingnya untuk melupakan dimensi transenden kehidupan mereka yang hilang, mulai menunjukan watak yang sesungguhnya. Sehingga segala respon yang terjadi harus bersumber dari tradisi-tradisi suci (agama) yang otentik.1
Terbukti bahwa pada saat ini di Barat sebagaian besar perhatian tertuju kepada metafisika dan spritualitas Timur, dan orang-orang Eropa maupun di Amerika rajin mencari buku-buku petunjuk, syair-syair atau musik-musik yang berhubungan dengan sufisme. Dalam hal ini ada sebuah pernyataan dari Barat yang menyebut Timur sebagai negeri pagi/negeri matahari terbit. Karena itu para penulis Barat ketika menceritakan pertemuan mereka dengan Timur, menyebut dunia Timur secara roamantis; Morgenlande.2
Seyyed Hossein Nasr memberikan pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi.3 Sehingga menurut Nasr manusia modern semakin lama semakin menjauh dari pusat eksistensinya, yaitu manusia sebagai "citra Tuhan" di pusat dunia.
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat. Yaitu menciptakan masyarakat kota industri dan peradaban modern yang lupa akan tradisi dan pesan-pesan suci dari Timur, mereka tenggelam dalam masyarakat konsumtif.4 Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang Islamisasinya.
1 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: Published by ABC Internatioan Group, Inc. 1975, h. 71. 2 Negeri pagi yang sering kali dilukiskan sebagai negeri yang penuh pesona ruhani, untuk lebih lengkapnya bisa dilihat, Murtada Muthahari, Manusia Sempurna, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 9. 3 Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man, (Londong: Mandala Books, 1976), h. 63. 4 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 20.
BAB II SEYYED HOSSEIN NASR
A. BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR
1. Latar Belakang dan Pendidikan Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr.5 Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanaan yang dianugerahkan oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.
Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran Syi‟ah tradisional6 yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syi‟ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syi‟ah telah lama hidup di sana yang didukung oleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh.
Sebelum pindah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari ayahnya. Sedangkan pendidikan tradisional formalnya diperoleh di madrasah Teheran. Selain itu oleh ayahnya dia juga dikirim untuk belajar di lembaga atau madrasah pendidikan di Qum yang diasuh Allamah Thabathaba‟i untuk belajar filsafat, teologi dan tasawuf. Ia juga diberi pelajaran tentang hafalan al-Quran dan pendidikan tentang seni Persia klasik.7
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan memasukkkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr
5 William C. Chittick, Preface” dalam The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, ed. Aminrazavi and Moris (Kuala Lumpur: tp, 1994), h. xiii. 6 Kata tradisional dan tradisi disini yang dimaksudkan bukanlah kebiasaan, adat istiadat atau penyampaian ide-ide atau motif secara otomatis dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Tradisi yang dimaksud disini yaitu serangkaian prinsip yang diturunkan dari langit dengan disertai sebuah manifestasi Ilahiah, dengan disesuaikan pada konteks kemasyarakatan yang berbeda-beda. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight Modern Man, (London: Longmans, 1976) Atau dalam edisi terjemahannya, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), hal. 79. 7 William C. Chittick, Preface…, h. xiii.
memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sebagai seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern.
Selain bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika bernama Geogio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika.8 Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur, misalnya tentang Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof Schuon tentang perenialisme. Selain itu juga berkenalan dengan pemikiran Rene Guenon, A. K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, Luis Massignon dan Martin Lings.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika.9 Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis desertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard University. Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia, sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson. Disertasi ini selesai dengan judul “Conceptions of Nature in Islamic Thought” yang kemudian dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines”. Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun tepatnya pada tahun 1958.
2. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat
Semasa belajar di Barat Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain ia belajar tentang ilmu sain di Barat, Nasr juga kemudian tertarik kembali mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya metafisika Timur yang banyak ia dapatkan di perpustakaan-perpustakaan Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang
8 http://wikipedia.com/ 9 http://wikipedia.com/
kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi‟ah.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial.10 Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.11 Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.12 Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak pandangan metafisis hermetisme, sebagai bagian yang penting dalam kerangka besar pemikiran perennial.
3. Kiprah Dalam Sosial dan Politik
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana. Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan keagamaan, seperti keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi‟ah di sana semisal Allamah Thabathaba‟i, Muhammad Kazim „Assar dan Abu Hasana Rafi‟i Wazwini.13
Nasr lebih berkiprah di dunia akademis diawal-awalnya. Ia banyak mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran melalui karya-karyanya, dengan mensponsori berbagai
10 Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang Kenyataan Ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi spiritual sejak awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”, warna mistikalnya amat kental. Tulisan Zainal Abidin Bagir dalam koran Tempo dalam kolom Suplemen Ruang Baca, tanggal 11 Februari 2003. http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/filsafat_perennial_kembali_ke_masa_depan.htm 11 Nasr banyak merujuk pemahaman tentang esoteris dan eksoteris Islam dari buku Frithjof Schuon berjudul Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis berjudul Comprendre I’Islam oleh D.M. Matheson. Pertama kali diterbitkan oleh Gallimard tahun 1961. Diterbitkan dalama bahasa Inggris pertama kali tahun 1963 di London oleh George Allen and Unwin. Buku ini menjelaskan bagaimana metode filsafat perenial diterapkan dalam mendekati ajaran Islam. Memberikan makna Islam secara lahir dan batin yang sejalan dengan pandangan kesufian Nasr. Dan diperjelas lagi dengan karya Schuon berikutnya berjudul Islam and the Pernnial Philosophy yang diterbitkan oleh World of Islam Festival Publising tahun 1976. Dapat dilihat dalam terjemahan bahasa Indonesianya dalam Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, ter. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995) 12 Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradisi. 13 Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 50
konferensi dan mendirikan pusat kajian filsafat Islam pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Dalam catatan Aminrazavi Nasr telah mempelopori berdirinya Imperial Iranian Academy of Philosophy, dengan kontribusinya telah menerbitkan jurnal ilmiah yang bertajuk Javidan Khirad (Sophia Perennis) dan juga telah banyak mempublikasikan teks-teks tradisional dengan jumlah besar.
B. PETA PEMIKIRAN
1. Alur Pemikiran
Untuk memudahkan pembahasan maka perlu dibagi periodesasi dari pemikiran Nasr. Setidaknya dapat kita bagi menjadi empat periode, yaitu periode 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an.14
Pada periode pertama pemikiran Nasr dapat dilihat pada karyanya yang pertama yaitu An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964). Buku ini mengkaji tentang konsep kosmologi15 tradisionalis yang memaparkan tentang pandangan metafisis dari pemikir klasik seperti Ikhwan al-Shafa‟, Ibn Sina dan al-Biruni. Three Muslim Sages (1964) yang memaparkan pemikiran tiga tokoh muslim klasik, yaitu Ibnu Sina dengan filsafat Paripatetiknya (masysyaiyyah), Suhrawardi dengan filsafat Illuminasionisme (isyraqiyyah), dan Ibn „Arabi dengan pemikiran „Irfaniyahnya (ma’rifah).16 Ideals and Realities of Islam (1966), yang memaparkan tentang urgensi Al-Qur‟an sebagai wahyu sekaligus sumber pengetahuan, juga mengenai Hadits sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur‟an. Buku ini sebenarnya adalah seri ceramah Nasr yang disajikan di American University of Beirut selama tahun akademik 1964-1965.17
Dan di akhir 1960-an Nasr melontarkan kritiknya terhadap Barat. Ia mengkritik atas realitas kemanusiaan modern dalam karyanya Man and Nature: the Spiritual Crisis of Modern Man (1968) yang berbicara tentang krisis spritual manusia modern dengan salah satu buktinya yaitu manusia modern telah memperlakukan alam sekitarnya dengan semena-mena. Hal ini sekaligus peringatan kepada negara berkembang yang telah
14 Pembagian periode ini sebagaimana merujuk periodesasi yang dibuat oleh Ali Maksum, Liihat Ali Maksum, Tasawuf..., h. 56 15 Secara tradisional kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang dan kausalitas. Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 499. 16 Maksum, Tasawuf..., h. 57 17 Buku ini telah diterjemahkan juga dalam bahasa Indonesia oleh Abdrurrahman Wahid dan Hasyim Wahid. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahaman Wahid dan Hasyim Wahid (Yogyakarta: Pusaka, 2001), h. 152.
terancam modernisasi dan globalisasi. Nasr menawarkan konsep Islam tentang Fitrah manusia sebagai makhluk yang berketuhanan dan manusia harus menghormati alam semesta sebagai sesama makhluk Tuhan sekaligus tajalli dari-Nya. Dan ia juga memperkenalkan spirit sejarah sain tradisional kepada Barat yang meliputi konsep metafisika, filsafat dan agama dalam Islam dalam karyanya Science and Civilization in Islam (1968), buku ini juga mengetengahkan prinsip-prinsip Islam dan berbagai perspektif dalam peradaban Islam hingga tradisi ma’rifah.
Pada periode kedua (1970-an), kritik Nasr terhadap dunia modern semakin dipertajam dengan menawarkan alternatif keluar dari krisis modernitas dengan memperkenalkan tasawuf yang merupakan bentuk kongkrit dari pemikirannya mengenai gnosisme, „irfan dan filsafat yang ia pelajari sejak awal. Hal ini dipaparkannya dalam bukunya Sufi Essay (1972). Islam and the Plight Modern Man (1976) juga tulisan Nasr merupakan buku yang propokatif dan penuh keprihatinan yang membicarakan masalah yang dihadapi oleh para muslim modern.
Memasuki periode ketiga (1980-an) ia banyak menuangkan gagasannya secara kongkrit sebagai alternatif hidup di dunia modern. Ia banyak mengkritik para Muslim modernis yang dinilai sebagai pengemban pemikiran modern Barat yang sekular. Seperti contoh Muhammad Abduh, Al-Afghani, Amir Ali dan Ahmad Khan. Dan menurut Nasr, selain mereka itu ada gerakan-gerakan puritanis rasionalistik yang membunuh tasawuf seperti halnya gerakan Wahabiyah yang dituduh sebagai biang kemunduran umat Islam. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Islamic Life and Thought (1981). Knowladge and Sacred (1981) merupakan karya Nasr yang banyak membicarakan epistemologi berpikir Tradisional dalam Islam. Islamic Art and Sprituality (1987) mengulas keindahan dan kebesaran seni budaya Persia sebagai seni suci dan seni tradisional.
Periode terakhir (1990-an) Nasr menggagas tindakan nyata tentang teori-teori dan pendapatnya dengan lebih fokus mengarahkan pandangan sufistiknya menjadi praktis dalam kehidupan modern seperti dalam karyanya Religion and Religion: The Chlallenge of Living in a Multireligious World (1991) yang juga mengutarakan gagasannya tentang peremuan dan kerukunan antar agama yang didasarkan pada filsafat perennial dan pandangan Ibn „Arabi. Young Muslim’s Guide to the Modern World (1994) tentang pengetahuan kesufian khusus untuk kaum muda, History of Islamic Philosophy (1994) yang banyak membicarakan perkembangan filsafat Islam mulai dari jaman klasik hingga jaman kontemporer sekarang ini, merupakan dua karya yang ditulis di akhir periode ini.
2. Posisi Pemikiran
Menurut Azra, pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme. Dikatakan posmodernis karena ia banyak mengkritik pemikir-pemikir modernis Islam seperti Abduh, Al-Afgani, Amir Ali dan Ahmad Khan sebagai pengemban budaya Barat dan sekulerismenya. Neo-modernis karena ia adalah pengkritik Barat dengan segala aspeknya, dan menampilkan kembali warisan pemikiran Islam sebagai solusi atas modernitas yang dimotori Barat tersebut. Juga sebagai neo-sufisme dengan bukti sebagai seorang pemikir sufi yang menerima pluralisme dan perenialisme sebagai wujud nyata pemikiran sufinya, disamping sebagai sufi yang sebenarnya yang selalu menginginkan penggalian yang sedalam-dalamnya atas spiritualitas dan makan batin Islam.18 Nasr salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat yang juga seorang ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari Timur ia mewarisi akar tradisi mistis dari Persia sebagai salah satu pusat tradisonalitas Islam, diajari bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga batin berdasarkan akar pemikiran Syi‟ah, disisi lain ia juga sorang ahli ilmu terapan yang dipelajarinya dari Barat modern. Seorang ahli fisika yang kemudian melintasi sektornya hingga metafisika. Dia termasuk orang yang kecewa dengan ilmu sain modern yang tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan yang radikal tentang Wujud Abadi atau Realitas Universal.
Hal itu yang membuat ia menjadi seorang yang anti modernis dengan segala hal yang ada di dalamnya. Sehingga juga tepat jika ia sebenarnya adalah seorang neo-tradisionalis19 yang mencoba mengetengahkan rekonstruksi pemikiran Islam tradisional di tengah dunia modern ini. Tentunya dengan sufisme sebagai solusi yang ia berikan sebgaia sebuah keilmuan yang harus dipahami dan menjadi ruh dari keilmuan modern yang lain, agar manusia modern kembali kepada khittahnya sebagai makhluk Tuhan.
3. Agama
Untuk memahami tradisi secara lebih baik, maka perlu adanya pembahasan tentang hubungan tradisi dengan agama. agama (religion), juga memiliki akar yang hampir sama,
18 Azumardi Azra, “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), h. 35. 19 Kata neo berarti baru dan tradisionalis berarti penyokong aliran tradisionalisme. Jadi dapat dikatakan bahwa neo-tradisionalis adalah seorang yang menganut tradisinalisme berpikir model baru; atau pembaharu tradisionalisme Islam. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, tt), h. 517, 756.
yaitu "mengikat" (dari bahasa Latin religere). "Religio" adalah pengikat (Religat) antara manusia dan langit dengan melibatkan keseluruhan wujudnya; sementara "traditio” berkaitan dengan realitas.20 Jadi agama merupakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus juga antara manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral, yang oleh muslim disebut ummah. Dalam arti itulah dapat dipahami bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul tradisi. Sebagai suatu yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan prinsip-prinsip tertentu, yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa tradisi. Sehingga agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama merupakan asal dari tradisi. Adapun agama secara objektif mengandalkan adanya realitas suprim yang bersifat personal, yaitu yang memiliki kehendak dan kemampuan mewahyukan keberadaan kepada manusia, serta memiliki wewenang dan kebebasan. Sedang secara subjek, agama mengandalkan adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan, yaitu adanya iman. Kemampuan ini merupakan salah satu keistimewaan manusia dibandingkan makhluk-makhluk lain. Seperti kata Hossein Nasr:
"Setiap makhluk di dunia tetap menjadi dirinya sendiri, sebab ia telah ditetapkan pada tingkat eksistensi tertentu. Hanya manusia yang dapat berhenti menjadi manusia. Ia dapat naik ke tingkat eksistensi dunia tertinggi atau pada saat yang sama jatuh di bawah tingkat makhluk yang paling rendah. Alternatif surga dan neraka yang diberikan kepadanya menunjukkan kondisi manusia yang unik. Dilahirkan sebagai manusia. Ia memiliki keuntungan yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lain, dan sangat tragis apabila ia menyia-nyiakan hidupnya untuk mengejar hal-hal yang menjatuhkannya dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu penyelamatan jiwanya".21
Nasr menjelaskan bahwa dalam semua agama terdapat dua hal esensial yang merupakan dasar agama; pertama, doktrin yang membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi, kedua, metode untuk mendekatkan diri kepada yang nyata dan mutlak serta hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yang menjadi tujuan dari arti bagi eksistensi manusia. Tidak sebuah agama-pun baik Hindu, Islam, Kristen atau Budha, dapat berdiri tanpa doktrin yang membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. Hanya bahasa doktriner yang dari setiap
20 Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Pakistan: Suhail Academy, Lahore, 1988), h. 73. 21 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 10
agama saja yang dapat berdiri dengan baik tidak memiliki cara mendekatkan diri kepada yang nyata serta hidup sesuai dengan kehendak-Nya.22
4. Eksoterik dan Esoterik
Hakikat tradisi yang melingkupi segala sesuatu dimungkinkan oleh adanya sifat kehadiran dimana-mana yang menjadi karakter setiap tradisi yang integral. Ia menjadikan agama sebagai pangkal segala level dan dimensi berbagai ajaran yang perujuk pada tingkatan spritual dan intelektual. Secara garis besar tingkatan ini dikelompokan menjadi dua yaitu eksoterik dan dimensi esoterik. Eksoterik mengatur keseluruhan hidup manusia secara tradisional, dalam arti realitas yang mencakup setap denyut kehidupan dalam masyarakat, dimana seluruh aktivitas berkaitan dengan norma-norma transenden, sedangkan yang kedua esoterik berkaitan dengan kebutuhan spritual dan intelektual mereka yang ingin mencari Tuhan.
Nasr menjelaskan bahwa tradisi Yahudi memiliki dua hal tersebut, eksoterik terwadahi dalam talmudik sedangkan esoterik dalam kabalistik. Dalam Islam ada syari'ah sebagai perwujudan eksoterik dan thariqah perwujudan esoterik. Sedangkan dalam Kristen sebenarnya juga merupakan agama yang eso-eksoterik, meski kurang tegas dibandingkan dua tradisi di atas yang semenjak awal sudah memiliki aspek esoterik.23
5. Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodoksi, bahkan lebih dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya. Jika ada sesuatu yang dinamakan kebenaran, maka harus ada yang namanya kesalahan-kesalahan serta norma-norma yang dapat digunakan oleh manusia untuk membedakan keduanya. Ortodoksi sendiri mempunyai pengertian sebagai hakikat kebenaran dan kaitannya dengan homogenitas formal dunia tradisional. Artinya ortodoksi merupakan doktrin yang terkandung dalam ajaran-ajaran suci, karenanya ia mempunyai nilai kebenaran dan bersesuaian dengan dunia tradisional yang merupakan manifestasi keberan itu sendiri.24
Nasr menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama penilaian tradisional atau tidak suatu ajaran didasarkan atas pandangannya bahwa tidak ada tradisi tanpa ortodoksi serta tidak ada kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran dapat dikatakan
22 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 1 23 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge..., h. 78. 24 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge..., h. 88.
tradisional apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, serta penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis menerima wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya sebagai permulaan duniawi kalam abadi Tuhan yang tercipta tanpa asal-usul temporal. Disamping itu, mereka mempertahankan, meminjam istilah Islam-Syari'ah sebagai hukum Tuhan. Namun mereka menerima kemungkinan meberikan pandangan-pandangan berdasarkan prinsip-prinsip legal (Ijtihad).25
C. KRITIK NASR TERHADAP MODERNISME
Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang di antara sekian pemikir muslim kontermporer yang paling terkemuka pada tingkat internasional yang banyak memberikan perhatian dan memberikan kritik yang tajam pada masalah-masalah yang dihadapi manusia modern. Bagi Nasr yang dimaksud istilah modern bukan berarti kontemporer atau mengikuti zaman, bukan pula suatu yang berhasil menaklukkan atau mendominasi alam semesta. Sebaliknya, bagi dia modern berarti sesuatu yang terpisah dari yang Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertian yang paling universal. Modernisme dengan demikian, oleh Nasr, dipertentangkan dengan tradisi (al-din); modernisme mengimplikasikan semua yang semata-mata manusiawi dan kini jauh semakin submanusiawi, dan semua yang tercerai dan terpisah dari sumber yang Ilahi. Kalu selama ini tradisi menyertai dan dalam kenyataanya menjadi ciri eksistensi manusia, sementara modernisme adalah sebuah fonomena yang sangat baru.26 Hampir tidak ada lagi pokok perdebatan yang memancing gejolak rasa dan perdebatan dikalangan umat Islam dewasa ini selain relasi antara pemikiran Islam dengan dunia barat. Disadari atau tidak peradaban barat telah menggerogoti konstruk pemikiran Islam sehingga barangkali sudah lebih dari dua abad umat Islam hidup dalam bayang-bayang peradaban barat, banyak pihak yang merasa khawatir akan tercerabutnya nilai-nilai Islam itu sendiri dari pemeluknya.
Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral, spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan corak peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca
25 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam..., h. 4-5. 26 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam..., h. 98.
renaisans. Paham yang serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal. Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari kehidupan manusia. Satu hal yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern yang paling fatal ialah percobaan manusia untuk hidup dan menapikan keberadaan Tuhan dan agama. Suatu hal yang tentu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi ilahiyah, dan pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu Tuhan.
Proses sekularisasi melangkah lebih jauh pada abad ke-19 bahkan memasuki wilayah Teologi, yang sampai saat itu masih secara alamiah bersatu dengan kerangka agama, dan kemudian jatuh dibawah kekuasaan sekularisme. Pada waktu itu ideologi ateistik mulai mengancam teologi itu sendiri sementara persfektif teologi tradisional mulai mundur dari satu wilayah yang seharusnya didudukinya. Yakni wilayah pemikiran agama yang murni. Disini penting disebutkan bahwa teologi yang dipahami dalam konteks barat adalah hal yang utama bagi Kristen, berbeda dengan Islam yang menempatkan teologi tidak sepenting hukum Islam. Dalam Kristen, semua pemikiran yang serius berkaitan dengan teologi dan karenanya kemunduran teologi Kristen pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari berbagai wilayah pemikiran juga berarti kemunduran agama di barat dari kehidupan sehari-hari dan pemikiran manusia barat. Kecenderungan ini mencapai tingkat seperti itu pada abad ke-20 ketika sebagian besar teologi itu, secara berangsur-angsur mengalami proses sekularisasi.27
Manusia memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar ia mampu mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr berkeyakinan bahwa akal dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan hanya petunjuk Tuhan yang menjadi bukti yang paling meyakinkan dari pengetahuan-Nya yang dapat menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal dapat berfungsi dengan baik dan tidak terbutakan oleh nafsu keduniawian.28
Sebagai manusia yang telah dibimbing oleh agama, kita tidak seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari modernisasi di dunia barat, meskipun peranan modern itu lahir dari sebuah keunggulan metodologi sains. Yang harus kita
27 Sayyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, (Bandung: Mizan, 1995), h. 149. 28 Sayyed Hossein Nasr, Islam Dalam..., h. 7-8.
lakukan sekarang adalah mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan beriringan. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana agar kita dapat mengangkat kembali dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf Qardhawi,
"manusia barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukup banyak. Tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya. Sangat indah apa yang telah dikatakan filosof India ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah cukup baik, kalian terbang tinggi di udara bagai burug. Kalian telah menyelam ke dasar laut seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi ini seperti layaknya manusia.29 Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas. Peradaban barat yang maju dari segi materi, ternyata telah gagal memahami manusia sebagai makhluk yang multi dimensia. Manusia bukan hanya sebatas makhluk yang mengandalkan kemampuan indera dan akal, tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk Tuhan yang mengemban amanat dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola segala potensi yang ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Manusia modern harus kembali diingatkan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Pemisahan manusia dari kesempurnaan aslinya hanya akan menggiring manusia pada apa yang dikatakan Kristen “kejatuhan”. Manusia berada dalam belenggu kebebasan yang semu, sifat ketuhanan (theomorfis) yang seharusnya ada pada peradaban modern maupun renaisans. Kepada manusia-manusia yang seperti inilah tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia batiniah inilah yang hendak dibebaskan tradisi dari belenggu ego dan keadaan yang mencekam karena sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap sama sekali eksternal. Hanya tradisi yang dapat membebaskan mereka, bukan agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan.30
Ini merupakan penyakit yang obatnya ada pada peradaban kita yang Illahiyah, Insaniyah, dan Universal. Suatu peradaban haq, bajik, seimbang serta adil. Peradaban yang mendudukan segalanya pada porsi yang sebenarnya. Tidak menyimpang dari posisinya. Suatu tata peradaban yang memadukan mesjid dan pabrik, memadukan agama dan ilmu, akal dan hati, materi dan ruh, serta menyelaraskan hubungan waktu kemarin hari ini dan esok, idealisme dan realisme.
29 Yusuf Qardhawi, Epistemologi AL-Quran, (Surabaya: 1996), h. 113. 30 Sayyed Hossein Nassr, Islam dan Nestapa..., h. 83.
D. GAGASAN ISLAM TRADISIONAL (TRADISIONALISME)
Sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan al-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.31
Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup di dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.32
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional menerima Qur‟an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Qur‟an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.33
31 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h.3 32 Sayyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 185. 33 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h. 4
Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya “Manusia sempurna”(insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-sumber Neo-platonik dan hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi mempunyai tiga aspek fundamental. Pertama adalah dari realitas pola dasar alam semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun ke dunia, dan ketiga, model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara sempurna.34
Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal di dunia lebih lama, prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan kembali.35
E. GAGASAN ISLAMISASI SAYYED HOSSEIN NASR (Pembaruan Kembali ke Konsep Islam Tradisi)
Keyakinan atau aqidah adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Ia merupakan referensi bagi suatu tindakan, dalam arti bahwa sebelum seseorang melakukan suatu perbuatan, dia selalu menimbangnya dengan keyakinan yang dimilikinya. Sebelum bertindak, seseorang yang memiliki keyakinan agama, misalnya, pasti terlebih dahulu menilai apakah perbuatan yang akan dilakukannya sesuai dengan keyakinan agamanya ataukah tidak. Jika sesuai, ia akan melakukannya dengan sebaik-baiknya, sebab dia yakin bahwa perbuatannya tidak hanya memiliki dampak bagi kehidupan masa kininya, tetapi juga pada kehidupan akhiratnya kelak. Akan tetapi, jika perbuatan itu bertentangan dengan keyakinannya, maka kemungkinan besar dia tidak akan melakukannya. Kalau pun karena satu dan lain alasan kemudian dia melakukannya juga, dia pasti akan merasa bersalah dan berdosa.36
34 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi..., h. 192 35 Chatib Saefullah, Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, (Tesis Oleh Dawam Raharjo, 1995), hal 75. 36 Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung: Pena Merah, 2004), h. 1.
Barangkali semua dorongan itulah yang menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat bagi Nasr untuk tetap menggelorakan pembaharuan (tajdid) kearah bangkitnya kembali Islam Tradisional yang diyakininya merupakan solusi terbaik bagi umat Islam untuk mengangkat kembali Islam yang telah “terinjak” dibawah peradaban modern barat.
Semangat pembaharuan (tajdid) ini merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Illahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. Namun seorang mujaddid berbeda dengan seorang “tokoh reformasi” menurut pengertian modernnya yang disebut muslih.37 Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu karya rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah realitas sesungguhnya dia dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya. Nasr merupakan figur yang sangat relevan kita ia menggembor-gemborkan tentang tajdidd. Nasr merupakan tokoh yang memiliki wawasan yang sangat luas tentang seluk-beluk peradaban modern dengan segala implikasi-implikasi yang bisa ditimbulkannya. Namun demikian, keakraban Nasr dengan alam modern tidak lantas menyebabkan ia tercerabut dari akar peradaban Islam, malah ia lebih menancapkan lagi dimana posisi Islam seharusnya ditempatkan. Nasr telah berhasil menciptakan batasan-batasan antara Islam dan barat, tradisi dan modernisasi, dan dengan itu semua orang bisa memilih posisi dimana ia akan mengambil tempat.
37 Sayyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa..., h. 206.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan akrab dengan dunia modern yang tetap istiqamah dalam pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Ia menggelorakan semangat pembaharuan (tajdidd), yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur‟an dan al-Hadits. Semangat pembaruan atau tajdidd ini kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi.
Islam tradisi tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan agama yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah diberikan Tuhan untuk manusia dan menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan.
Kita patut mengacungkan jempol untuk Nasr atas gagasannya ini. karena umat Islam tidak akan menjadi umat yang beruntung ketika ia meninggalkan atau tercerabut dari tradisinya. Ketika orang-orang barat meninggalkan tradisinya, maka mereka berhasil mencapai kemajuan. Namun ketika umat Ilam meninggalkan tradisinya, maka yang akan didapatkan hanyalah kenistaan.
B. Saran
Kajian tentang tokoh Sayyen Hossein Nasar ini sebenarnya tidaklah cukup kita bahas dalam satu makalah singkat ini saja. Namun akan lebih sempurna lagi bila kita bisa membaca berbagai karya yang telah ditulih oleh Nasr sendiri yang merupakan hasil pemikiran-pemikiran beliau yang banyak memberikan kontribusi bagi khazanah keislaman di dunia modern sekarang. Untuk itu penulis berharap agar tulisan ini bermamfaat dan tentunya tidak hanya sampai di sini saja, melainkan hendaknya para pembaca bisa menela'ah lebih lanjut buah pemikiran Nasr sebagai tambahan pengetahuan bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Muhammad. Dari Teologi ke Ideologi. Bandung: Pena Merah. 2004.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. (Jakarta: Gramedia. 2000.
Maksum, Ali. Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Saiyyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam and The Plight of Modern Man, London: Longman Group, 1975
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dalam Cita dan Fakta. (terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid). Jakarta: LEPPENAS, PT. Panca Gemilang Indah. 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy, Lahore. 1988.
Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajahi Dunia Modern. Bandung: Mizan. 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. London: New American Library. 1970.
Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. London: George Allen & Unwin. 1972.
Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern Word. London: Worts-Power Associates. 1987.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola. Tt.
Qardhawi, Yusuf. Epistemologi AL-Quran. Surabaya: tt. 1996.
Saefullah, Chatib. Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, (Tesis Oleh Dawam Raharjo), 1995.
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/filsafat_perennial_kembali_ke_masa_depan.htm
http://wikipedia.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar